Refleksi Liburan Semester
Satu setengah bulan liburan semester sudah akan berakhir dalam tiga hari kedepan. Satu hal yang jelas terasa berbeda dari liburan semester-semester sebelumnya. Liburan semester kali ini, tidak sekalipun saya merasa bosan akibat tidak ada kegiatan sama sekali. Karena sebulan setengah penuh (iya, penuh), saya habiskan di jantung kota budaya dan pelajar Daerah Istimewa Yogyakarta. Di Pringwulung, Sleman saya menjadi salah satu relawan sekaligus pekerja magang di salah satu NGO di bidang kemanusiaan yang berkomitmen melayani, menemani, dan advokasi pengungsi. Saya bisa jamin, ketika teman-teman mendengar istilah pengungsi pasti yang akan langsung teringat pada pengungsi bencana gunung meletus, tsunami, banjir, lumpur lapindo maupun gempa bumi yang sering kita lihat dan dengar pemberitaannya di TV dan koran. Namun pengungsi tidak terbatas pada definisi tersebut. Menurut Konvensi Status Pengungsi tahun 1951 pengungsi adalah:
someone who "owing to a well-founded fear of being persecuted for reasons of race, religion, nationality, membership of a particular social group or political opinion, is outside the country of his nationality, and is unable to, or owing to such fear, is unwilling to avail himself of the protection of that country."
Definisi tersebut memberikan dimensi penting dan mendasar terhadap pemahaman kita tentang pengungsi. Mereka yang mengungsi masih dalam batas wilayah negaranya memang pengungsi, tapi lebih tepat disebut internally displaced persons (IDP), termasuk diantaranya pengungsi lumpur lapindo yang mengungsi di wilayah pasar Porong, pengungsi konflik kekerasan di Aceh hingga konflik agama dan suku di Ambon. Sementara mereka yang memilih untuk keluar dari batas wilayah negaranya untuk menghindari prosecution akibat rasnya, agamanya, kewarganegaraannya, keanggotaannya pada kelompok sosial dan politik tertentu, disebut pengungsi lintas batas negara. Misalnya korban konflik kekerasan di Afghanistan (etnis Hazara yang diburu Taliban), Irak, Somalia, Lybia, Mesir, Sri Lanka (etnis Tamil yang berada dibawah ancaman Macan Tamil dan pemerintahan yang berkuasa), Myanmar (etnis Rohignya yang tidak diakui oleh juntah militer Myanmar) yang memilih untuk meninggalkan negaranya guna mencari suaka di negara lain.
Di Indonesia sendiri hingga bulan Agustus 2010 lalu, tercatat telah terdapat 3.434 pencari suaka, 130 diantaranya secara sukarela kembali ke negaranya, hanya 843 menerima status pengungsi dari UNHCR (United Nations High Commissioner for Refugee), sementara sisanya sedang menunggu proses RSD (Refugee Status Determination) atau telah ditolak permohonanya. Tingginya angka pencari suaka di Indonesia diakibatkan oleh posisi geografi Indonesia yang strategis, dalam artian dekat dengan wilayah Australia. Indonesia bukan merupakan tujuan akhir bagi para pencari suaka. Tujuan akhir mereka adalah Australia, karena kemampuan negara tetangga kita tersebut untuk memberikan suaka. Indonesia, melalui berbagai pertimbangan, hingga saat ini belum meratifikasi Konvensi mengenai Status Pengungsi tahun 1951 sehingga belum mampu memberikan suaka. Para pengungsi tersebut rata-rata menuju Christmas Island yang masih berada dibawah kedaulatan pemerintahan Australia dan posisinya di selatan pulau Jawa. Entah akibat kehilangan arah atau cuaca yang buruk, perahu-perahu para pengungsi terdampar di wilayah Indonesia dan tertangkap oleh masyarakat lokal atau polisi air Republik Indonesia.
Setelah perjalanan perahu dalam waktu yang relatif panjang, dengan keterbatasan makanan dan minuman, dan kondisi yang bahaya bagi perempuan dan anak-anak, para pencari suaka dan pengungsi yang tertangkap masih harus merasakan kehidupan dalam Rumah Detensi Imigrasi (Rudenim) dalam jangka waktu yang tidak menentu. Mereka bukan kriminal, tapi harus hidup seperti pelaku kejahatan di balik jeruji. Untuk itu, organisasi seperti tempat saya bekerja berusaha menyediakan akomodasi komunal di luar rudenim. Di rumah-rumah kontrakan dekat rudenim, dengan pengawasan ketat UNHCR dan Kantor Imigrasi Indonesia, keluarga, wanita, dan anak-anak tetap dapat memperoleh hak asasinya yang sulit dipenuhi dalam rudenim.
Diantara para pengungsi dan pencari suaka tersebut terdapat janda-janda yang ditinggal mati suaminya sesaat setelah sampai di Indonesia akibat kecapaian, anak-anak tanpa sanak keluarga yang menemani, dan laki-laki dan wanita lanjut usia yang melarikan diri dari negaranya agar tetap dapat bertahan hidup. Namun sistem dan persyaratan yang ada harus membatasi ruang gerak mereka. Di tempat ini, saya mempelajari wajah kemanusiaan dari sisi lain. Di bangku sekolah, saya belajar berbagai teori, menganalisis sistem politik, membandingkan kebijakan para pemimpin negara, atau bahkan mengkritik dan menyalahkan beberapa pihak atas kegagalan dan masalah-masalah kemanusiaan yang ada. Sementara di sini, hanya di Pringwulung, Sleman, saya belajar untuk melakukan sesuatu. Untuk berhenti menyalahkan siapa pun dan berhenti mencari justifikasi untuk mengkritik sistem yang ada. Setiap harinya di Pringwulung, saya membaca berbagai kisah para pengungsi, kesedihan, penderitaan dan ketidakadilan. Jika saya tidak ingat niat dan alasan utama saya dan organisasi ini berada disini (melayani, menemani dan advokasi pengungsi dan pencari suaka), saya sudah menyerah dari minggu pertama magang. Setiap hari saya harus berhadapan dengan orang-orang yang kesusahan, menderita, terpisah dari keluarganya dan terambil hak asasinya. Melalui tulisan ini, saya ingin mengajak teman-teman untuk merenung sejenak atas nama kemanusiaan, untuk mereka yang hidupnya terancam, menderita, terpisah dari keluarganya, tercabut tiba-tiba dari komunitasnya, dan terhalang aksesnya terhadap hak asasi manusianya…..
Pringwulung, Sleman. Rabu, 3 Maret 2011. 17.10
Terima kasih, untuk para pengungsi dan pencari suaka di luar sana, yang masih menunggu, dan menunggu tanpa tahu sampai kapan. Terima kasih telah menginspirasiku dan mengajariku untuk berhenti menyalahkan, dan mengajakku untuk melakukan sesuatu, mengubah dunia.